Kalau kamu berfikir pasangan yang akan menikah itu bahagia, hari-harinya penuh dengan kemesraan karena gak sabar sebentar lagi menikah, Oow itu salah besar saudara-saudara. Menjelang pernikahan, kami malah sering sekali bertengkar, kadang untuk hal yang sepele, milih tas buat seserahan aja bisa berantem, cuman karena cami gak suka sama pilihan saya, padahal itu tas kan saya yang pakai, kenapa juga dia ikut campur. Nah ini, saat itu saya harus ingat, bahwa setelah menikah bukan hanya soal “aku” tapi “kami”, artinya setiap barang yang kita beli nantinya seizin suami dan suami juga harus suka dong sama pilihan saya. Meskipun ada beberapa laki-laki ada juga yang gak terlalu peduli sama urusan seperti ini, cami saya ini tipe yang peduli banget. Tapi, kalau berantemnya hanya antara kita berdua aja si gak seberapa, masih bisa diatasi dengan mudah. Nah, klo berantemnya udah melibatkan 2 keluarga, ini yang bikin stress.
Gambar. Click link
Secara
kasar, menikah itu berarti “memaksa” untuk menyatukan dua keluarga. Dua keluarga
yang meskipun masih sama-sama di Indonesia, tapi memiliki perbedaan latar
belakang. Iya kalo kata iklan mah perbedaan harusnya indah seperti minyak dan
air, tapi kenyataannya? That’s not simple as you think. Jujur aja, sempat agak
frustasi dan berfikir “baru mau nikah aja udah susah, apalagi klo udah nikah!
Ih nikah ribet bgt si, udahlah gak usah nikah aja klo bikin pusing kayak
begini, batal aja mendingan”. Sedikit aja bersikap entah keluarga saya atau
keluarga cami merasa tersinggung. Ini baru dari masalah internal, belum lagi
masalah eksternal seperti catering lah, undangan, souvenir, seperti semuanya
ada aja yang kurang dan terlewat. It’s like everything totally messed up.
Kuncinya
kembali lagi pada komunikasi, kesalahpahaman karena adanya perbedaan adat dan
kebiasaan kalau tidak dikomunikasikan dan dibiarkan akan mengakibatkan
kecurigaan dan ketidaknyamanan masing-masing pihak. Kadang seringkali saya
merasa, oke hal ini sepertinya tidak perlu diucapkan, karena khawatir suasana
akan bertambah keruh, atau khawatir nanti keluarga suami malah jadi
tersinggung. Tapi pemikiran saya ini jelas salah, karena saya dan suami
ternyata berfikir hal yang sama, sehingga yang kami lakukan adalah memendam
kesalahpahaman dan perbedaan persepsi tersebut. Hingga pada suatu ketika, salah
seorang dari kami mengungkapkan kesalahpahaman tersebut, dan yang terjadi
adalah seperti bom waktu. Meledak, dan saling melemparkan ketidaknyamanan yang
kami rasakan.
Pada
akhirnya kami sadar, bahwa bertengkar saling melemparkan ketidaknyamanan
tidaklah menyelesaikan masalah. Kami harus mencari solusi terbaik untuk kedua
belah pihak. Ke depannya komunikasi harus ditingkatkan, masalah sekecil apapun
memang sebaiknya dikomunikasikan, tapi tentunya dengan penyampaian yang baik
dan saat emosi juga stabil. Kalau tujuannya baik, tapi cara penyampaiannya gak
baik sama aja kan?
Gambar click link
Yap,
pernikahan memang bukan sekedar antara kamu dan calonmu, tapi juga antar dua
keluarga. Perlakukanlah keluarga calonmu seperti keluarga sendiri, harus saling
menghormati dan menghargai.
Oke jadi sebenarnya, saat tulisan ini mulai dibuat, saya sedang berada pada posisi “why get married so difficult and stressfull?”. Pada pertengahan menulis, saya sudah bisa berpikir dengan kepala dingin, dan mulai berdiskusi untuk mencari solusi terbaik. Hingga tulisan ini selesai, kami sudah melakukan beberapa aksi dari solusi yang kami pikirkan jalan keluarnya. Yap, tulisan memang seringkali meredam emosi dan membuat jalan pikiran lebih logis, kamu setuju kan?
Gambar click link
0 komentar:
Posting Komentar