Rasanya
tinggal di rumah mertua itu... Menurutmu bagaimana? Menyeramkankah?
Menakutkankah? Mengasyikkankah? Let’s see...
Setelah
menikah, kami tinggal di rumah orang tua saya. Tapi, baru seminggu kami tinggal
di rumah orang tua saya, tiba-tiba suami mengajak saya untuk tinggal di rumah
orang tuanya. Seketika itu juga saya langsung sedih. Tidakkah dia merasa
terlalu cepat membawa saya meninggalkan keluarga? Bukankah kita sepakat untuk
tinggal di rumah orang tua saya selama sebulan? Tidakkah dia mengerti bahwa
meninggalkan keluarga adalah hal terberat yang harus saya lakukan? Meskipun
saya tahu cepat atau lambat saya akan meninggalkan mereka, tapi bukankah ini
terlalu cepat?
Saat
itupun saya berfikir, duh gimana ni? Beneran bakalan tinggal di rumah orang tua
suami ni? Nanti sifat jelek saya ketahuan deh, nanti mertua tau deh saya tuh
belum bisa masak, tukang tidur, sering bangun siang, pemalas pula. Hadeeeeeeeh.
Sekarang,
mari saya coba bahas apa rasanya tinggal di rumah mertua.
Gambar click link
Kenyamanan?
Tentu saja tidak bisa dibilang saya sangat nyaman. Saya yang biasanya dari
kecil tinggal di rumah sendiri dengan lingkungan keluarga saya, tiba-tiba harus
pindah ke lingkungan baru (red: rumah mertua), tentu saja ada perasaan gak
nyaman, dan sepertinya semua serba gak enak. Sapu di rumah lebih enak daripada
sapu di rumah mertua, kain pel di rumah lebih enak dipakai daripada di rumah
mertua, kamar di rumah lebih nyaman, mesin cuci di rumah lebih enak dipakai
daripada di rumah mertua, meskipun mesin cuci di rumah mertua lebih canggih.
Pada
awal hari-hari di rumah mertua, saya begitu merindukan rumah, saya rindu
suasananya, perabotan yang biasa saya pakai, orang-orang yang tinggal di
dalamnya, bahkan bau khas rumah. Padahal saya baru tinggal beberapa hari di
rumah mertua, dan padahal setiap hari saya mengunjungi rumah, karena tempat
kerja saya sangat berdekatan dengan rumah. Di sela-sela kerja, saya sering ke
rumah hanya untuk menemui mamah, untuk makan siang, untuk mengambil beberapa
barang, dan menunggu suami menjemput saya. Meskipun begitu, setelah sampai
rumah mertua, saya langsung teringat rumah, dan rasanya saya ingin kembali,
dalam hati saya berkata “saya tidak suka berada disini”. Meskipun saya pernah
tinggal jauh dari rumah (ngekos di karawang), tapi ini rasanya berbeda. Meskipun
sikap keluarganya baik sama saya, dan saya sudah mulai bisa berbincang-bincang
dengan mereka. Tapi saya tetap kangen rumah. Suami saya sering sekali bertanya,
mengapa wajah saya akhir-akhir ini murung, padahal saya sudah berusaha
menyembunyikannya, saya jawab bahwa saya baik-baik saja, karena saya tidak
ingin membuat dia merasa terbebani dengan apa yang saya rasakan disini, saya
ingin dia yakin bahwa bukanlah suatu masalah jika saya tinggal disini.
Sebenarnya
dalam hati saya sedih, setiap ditanya suami, saya hanya bisa jawab “gak
apa-apa”, dan hanya bisa menangis di belakang punggungnya. Hingga pada suatu
titik saya merenung dan saya sadar hal yang menyebabkan saya selalu kangen
rumah. Karena saya mengganggap rumah mertua adalah rumah yang asing. Kemudian
saya mulai mencoba membuka diri saya, dan meyakinkan diri saya bahwa keluarga
suami adalah keluarga saya, dan rumah ini harus saya anggap seperti rumah
sendiri. Ya bagaimanapun, saya harus menjadi diri saya apa adanya (tentunya
dengan tambahan harus sedikit lebih rajin), saya mulai berfikir bahwa saya tak
perduli lagi bila keluarga suami tahu saya tukang tidur, suka nyanyi
keras-keras, bawel, belum pinter masak, dan lain-lain. Biarlah keluarga baru
saya ini mengenal saya, semakin banyak mereka tahu keburukan saya, itu tandanya
mereka semakin dekat dengan saya, karena saya menunjukkan “the real me”.
Saya-pun percaya, semakin mereka mengenal saya, mereka tidak hanya melihat sisi
buruk saya, tapi juga sisi positifnya.
Selain
menunjukkan the real me, hal yang saya coba tanamkan pada diri saya selama
tinggal di rumah mertua adalah berfikir positif dan toleransi. Namanya
tiba-tiba ada orang baru di rumah, rasa canggung baik itu dari mereka atau saya
sudah pasti terjadi, sekali lagi ini hanya soal waktu, saya dan mereka
sama-sama perlu mebiasakan diri pada suasana baru ini. Saya masih perlu
beradaptasi dengan semua benda-benda yang ada di rumah mertua, dengan semua
anggota keluarga, dan juga dengan budaya keluarganya. Saya disini masih sebagai
pemerhati, dan mempelajari setiap budaya yang ada di keluarga ini. Pernah juga
saya bertanya-tanya “kok mereka begini yah? Oh jadi disini kebiasaannya begitu
yah? Kok beda ya sama di rumah? Aduh jangan-jangan mereka gak suka dan gak
nyaman lagi ada saya...”. Then now.... Just don’t think and worry too much Tia.
Biar bagaimanapun, saya harus ingat
bahwa saya tinggal di keluarga baru yang BERBEDA dengan keluarga di
rumah selama ini. Jadi udah deeeeeh gak usah mikir macem-macem Tia, cobalah
untuk memahami, mempelajari, menelaah karakter dan budaya keluarga baru ini.
Saya lagi-lagi MEMAKSA untuk berfikir positif hingga pada akhirnya saya bilang
“oh mungkin disini begini karena begitu.. oh jadi manfaat budaya ini tuh
begini...”. Sayapun juga harus ingat yang namanya toleransi, kadang saya
menolak untuk mengerti, kadang saya tak bisa menerima beberapa sikap mereka, kadang
saya ditegur karena sifat saya, tapi biar bagaimanapun saya tetap harus
menghargai, dan mengikuti aturan yang berlaku, dimana bumi dipijak, disitulah
langit dijunjung, selama tidak melanggar syariat islam, saya pikir tak ada
masalah. Saya gak boleh kekeuh sama pendapat saya akan suatu hal, ikutin dan
pahami aja dulu. Sayapun harus berfikir positif, kalau kita ditegur atau
dinasehatiDari sini, saya malah jadi semakin banyak belajar, saya bisa belajar
dari dua budaya keluarga, saya jadi punya bayangan akan dibangun seperti apa
keluarga saya nanti, suasana seperti apa yang akan dihidupkan jika kami sudah
punya rumah sendiri. Indah bukan?
Beruntungnya,
berhubung rumah saya dan rumah suami jaraknya tidak terlalu jauh, selama ini
kami tinggal bergantian, kadang kami tinggal di rumah orang tua saya, kadang di
keluarga orang tua suami. Dengan begini, kami bisa saling mengerti dan bisa
saling dekat dengan keluarga masing-masing, kamipun bisa saling memahami budaya
masing-masing. Akan tetapi, senyaman apapun rumah mertua atau rumah orang tua,
layaknya impian orang yang membina rumah tangga, pasti ingin punya rumah
sendiri untuk membangun dan membina keluarga sendiri. Anggaplah ini sebagai
awalan dari mengenal keluarga masing-masing. Yah, hidup ini akan terasa indah
jika kita saling menghargai dan tetap berfikir positif. Bayangkanlah...